Salatiga – Sejarah lisan hadir bukan sekadar menempatkan manusia sebagai subjek ataupun objek dalam sejarah, melainkan sebagai aktor aktif dalam produksi pengetahuan. Melalui pendekatan ini, sejarah lisan menjanjikan demokratisasi kuasa pengetahuan, kesetaraan, dan kebebasan bagi kelompok masyarakat yang selama ini sering terpinggirkan. Oleh karena itu, dihadirkanlah Lokakarya Oral History Collective bertempat di Universitas Kristen Satya Wacana sebagai ruang diskusi tentang agensi, otoritas, serta produksi pengetahuan kesejarahan dan transmisinya yang berlangsung pada Selasa–Rabu, 9–10 September 2025.

Acara ini dibuka secara resmi oleh Dekan FKIP UKSW bersama perwakilan dari Oral History Collective, yakni Dr. Wahyu Purwiyastuti, S.S., M.Hum dan Dr. Abdul Wahid. Pada hari pertama, lokakarya menghadirkan sesi diskusi bertema “Peluang, Praktik, dan Tantangan Pembelajaran Sejarah Lisan Kontekstual”. Empat topik utama dipresentasikan, antara lain:

  1. Sejarah Lisan dan Pewarisan Memori Kolektif untuk Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat
  2. Strategi Pembelajaran Sejarah Berbasis Oral History dan Photovoice
  3. Implementation of the SEKUL (Family History) Learning Model Through Oral History: A Systematic Approach to Improving Social-Emotional Competence
  4. Pengembangan Warisan Budaya Tionghoa untuk Pembangunan Wisata Kota Tua Padang

Diskusi berlangsung hingga siang hari dan dilanjutkan pada sesi kedua bertema “Sejarah Lisan untuk Mengungkap Trauma, Kekerasan Negara, dan Isu Internasional di Keluarga”. Tiga isu penting dibahas dalam forum ini, yakni:

  1. Dari Keluarga ke Negara: Pembelajaran Kritis Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
  2. Sejarah Keluarga Ilmuwan Kiri: Sebuah Lensa Analitis
  3. Menyuarakan 1998 dengan Musik Melalui Musik dan Sastra

Menariknya, diskusi tersebut menegaskan bahwa sejarah lisan tidak hanya relevan di ranah akademik, tetapi juga dapat dipadukan dengan medium lain seperti musik dan sastra untuk menyuarakan pengalaman sejarah. Hari pertama ditutup dengan Bedah Film berjudul Konta Sai dan Eling-eling Peniwen.

Memasuki hari kedua, Rabu, 10 September 2025, lokakarya berlanjut dengan tiga sesi utama. Diskusi pertama mengangkat tema “Sejarah Lisan untuk Tantangan Rural-Urban” dengan dua fokus bahasan: Refleksi: Pendidikan Sejarah Milik Siapa dan Mencipta Ruang untuk Bertanya: Historiografi Sejarah Kampung untuk Indonesia.

Pada sesi kedua yang berlangsung secara hybrid, hadir Prof. Dr. Diana Suhardiman selaku Direktur KITLV dan Ireen Hoogenboom, M.A. dari RtF. Mereka menyampaikan dua paparan utama: Transisi dan Adaptasi: Sejarah Lisan Ekonomi Petani Bali serta Recording the Future.

Lokakarya hari kedua ditutup dengan kegiatan field-trip ke Desa Pancuran. Peserta diajak berkeliling, mengeksplorasi kehidupan kampung, sekaligus mengikuti sesi melukis bersama komunitas setempat.

Lokakarya Oral History Collective tidak hanya pemaparan materi topik-topik oral history, tapi acara ini menjadi ajang diskusi seluruh partisipan yang terlibat. Topik-topik yang disajikan menjadi pemantik berbagai diskusi yang bermuara pada pengayaan tema oral history, praktik-praktik pelaksanaan oral history dan alih media kerja oral history kedalam wahana alternatif. Melalui rangkaian kegiatan ini, Lokakarya Oral History Collective tidak hanya menghadirkan ruang refleksi akademik, tetapi juga memperluas horizon pemahaman tentang sejarah lisan sebagai medium yang hidup, lentur, dan berpihak pada masyarakat.